KESULTANAN BANTEN

Kesultanan Banten berawal ketika Kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke daerah barat. Pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati bersama pasukan Demak menaklukkan penguasa lokal di Banten, dan mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Demak.

 

Anak dari Sunan Gunung Jati ( Hasanudin ) menikah dengan seorang putri dari Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang anak. Anak yang pertama bernama Maulana Yusuf. Sedangkan anak kedua menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa Jepara.

 

Terjadi perebutan kekuasaan setelah Maulana Yusuf wafat (1570). Pangeran Jepara merasa berkuasa atas Kerajaan Banten daripada anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana Muhammad karena Maulana Muhammad masih terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang Kerajaan Banten. Perang ini dimenangkan oleh Kerajaan Banten karena dibantu oleh para ulama.

Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fatah Abdulfatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat.

 

 

Daftar pemimpin Kesultanan Banten

 

1)       Sunan Gunung Jati

2)       Sultan Maulana Hasanudin 15521570

3)       Maulana Yusuf 15701580

4)       Maulana Muhammad 15851590

5)       Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir 16051640

6)       Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad 16401650

7)       Sultan Ageng Tirtayasa 16511680

8)       Sultan Abdul Kahar (Sultan Haji) 16831687

9)       Sultan Yahya 16871690

10)   Sultan Zainul Abidin 16901733

11)   Sultan Arifin 17331748

12)   Halimin

13)   Abul Nazar Mohammad Arif Zainul Asikin 17531777

 

 

Sunan Gunung Jati

 

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, lahir sekitar 1450 M namun ada juga yang mengatakan bahwa ia lahir pada sekitar 1448 M. Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari kelompok ulama besar di Jawa bernama walisongo.

 

Sunan Gunung Jati bernama Syarif Hidayatullah, lahir sekitar 1450. Ayah beliau adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar. Jamaluddin Akbar adalah seorang Muballigh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Mawlana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Mawlana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramawt, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucu beliau Imam Husayn.

 

Ibunda Syarif Hidayatullah adalah Nyai Rara Santang putri Prabu Siliwangi (dari Nyai Subang Larang) adik Kiyan Santang bergelar Pangeran Cakrabuwana yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi.

 

Makam Nyai Rara Santang bisa ditemui di dalam komplek KLENTENG di Pasar Bogor, di sebelah Kebun Raya Bogor.

Pertemuan Rara Santang dengan Syarif Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar masih diperselisihkan. Sebagian riwayat (lebih tepatnya mitos) menyebutkan bertemu pertama kali di Mesir, tapi analisis yang lebih kuat atas dasar perkembangan Islam di pesisir ketika itu, pertemuan mereka di tempat-tempat pengajian seperti yang di Majelis Syekh Quro, Karawang (tempat belajar Nyai Subang Larang ibunda dari Rara Santang) atau di Majelis Syekh Kahfi, Cirebon (tempat belajar Kiyan Santang kakanda dari Rara Santang).

 

Syarif Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar, sangat mungkin terlibat aktif membantu pengajian di majelis-majelis itu mengingat ayahanda dan kakek beliau datang ke Nusantara sengaja untuk menyokong perkembangan agama Islam yang telah dirintis oleh para pendahulu.

 

Pernikahan Rara Santang putri Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang dengan Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Syarif Hidayatullah.

Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya Syekh Mawlana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Kahfi beliau meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai bagian dari ibadah haji buat seluruh umat Islam.

 

Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuawana membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayat mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setalah Uwaknya wafat.

Memasuki usia dewasa sekitar diantara tahun 1470-1480, beliau menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Mawlana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I.

 

Masa ini kurang banyak diteliti para sejarawan hingga tiba masa pendirian Kesultanan Demak tahun 1487 yang mana beliau memberikan andil karena sebagai anggota dari Dewan Muballigh yang sekarang kita kenal dengan nama Walisongo. Pada masa ini beliau berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan Syekh Mawlana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunan beliau juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Campa.

 

Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal state dari kesultanan Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon.

 

Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan disebarkan di Pulau Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.

 

Setelah pendirian Kesultanan Demak antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit, baik bagi Syarif Hidayat dan Raden Patah karena proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari kerajaan Pakuan dan Galuh (di Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan gangguan external dari Portugis yang telah mulai expansi di Asia Tenggara.

 

Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan.

 

Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di Pulau Jawa dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat menikahkan putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 di tahun 1511.

Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal di tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkat Tubagus Pasai (belakangan dikenal dengan nama Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk memancing Portugis bertempur di Pulau Jawa.

Sangat kebetulan karena Raja Pakuan telah resmi mengundang Armada Portugis datang ke Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan yang sangat lemah di laut yang telah dijepit oleh Kesultanan Banten di Barat dan Kesultanan Cirebon di Timur.

 

Kedatangan armada Portugis sangat diharapkan dapat menjaga Sunda Kelapa dari kejatuhan berikutnya karena praktis Kerajaan Hindu Pakuan tidak memiliki lagi kota pelabuhan di Pulau Jawa setelah Banten dan Cirebon menjadi kerajaan-kerajaan Islam.

 

Tahun 1527 bulan Juni Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad di Malaka 1521.

 

Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah.

 

Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser kembali ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya.

 

Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayat adalah dalam riwayat jatuhnya ibukota Pakuan 1568 hanya setahun sebelum beliau wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.

 

Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang.

 

Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal Penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar.

 

Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.

 

Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan.

Terlepas dari benar-tidaknya pendapat kaum sufi di tanah air, sejarah telah membuktikan karakter yang sangat istimewa dari Syarif Hidayatullah baik dalam kapasitas sebagai Ulama, Ahli Strategi Perang, Diplomat ulung dan Negarawan yang bijak.

 

Bagi para sejarawan beliau adalah peletak konsep Negara Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga 1680 yang runtuh hanya karena pengkhianatan seorang anggota istana yang dikenal dengan nama Sultan Haji.

 

 

Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggil beliau dengan nama lengkap Syekh Mawlana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.

 

Sultan Ageng Tirtayasa

Sultan Ageng Tirtayasa (Banten, 16311692) adalah putra Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad yang menjadi Sultan Banten periode 16401650. Ketika kecil, ia bergelar Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah.

Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang). Ia dimakamkan di Mesjid Banten.

 

 

Riwayat Perjuangan

 

Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 16511682. Ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.

Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan.

Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan de Saint Martin.

 

SILSILAH SULTAN BANTEN

SYARIF HIDAYATULLAH – SUNAN GUNUNG JATI Berputera :

1. Ratu Ayu Pembayun.

4. Maulana Hasanuddin

2. Pangeran Pasarean

5. Pangeran Bratakelana

3. Pangeran Jaya Lelana

6. Ratu Wianon

 

7. Pangeran Turusmi

PANGERAN HASANUDDIN – PANEMBAHAN SUROSOWAN (1552-1570) Berputera :

1. Ratu Pembayu

8. Ratu Keben

2. Pangeran Yusuf

9. Ratu Terpenter

3. Pangeran Arya Japara

10. Ratu Biru

4. Pangeran Suniararas

11. Ratu Ayu Arsanengah

5. Pangeran Pajajara

12. Pangeran Pajajaran Wado

6. Pangeran Pringgalaya

13. Tumenggung Wilatikta

7. Pangeran Sabrang LorPangeran

14. Ratu Ayu Kamudarage

 

15. Pangeran Sabrang Wetan

MAULANA YUSUF PANEMBAHAN PAKALANGAN GEDE (1570-1580) Berputra :

1. Pangeran Arya Upapati

8. Ratu Rangga

2. Pangeran Arya Adikara

9. Ratu Ayu Wiyos

3. Pangeran Arya Mandalika

10. Ratu Manis

4. Pangeran Arya Ranamanggala

11. Pangeran Manduraraja

5. Pangeran Arya Seminingrat

12. Pangeran widara

6. Ratu Demang

13. Ratu Belimbing

7. Ratu Pecatanda

14. Maulana Muhammad

MAULANA MUHAMMAD PANGERAN RATU ING BANTEN (1580-1596) Berputra :

1. Pangeran Abdul Kadir

 

SULTAN ABUL MAFAKHIR MAHMUD ‘ABDUL KADIR KENARI (15961651) Berputra:

1. Sultan ‘Abdul Maali Ahmad Kenari (Putra Mahkota)

19. Pangeran Arya Wirasuta

2. Ratu Dewi

20. Ratu Gading20.

3. Ratu Ayu

21. Ratu Pandan

4. Pangeran Arya Banten

22. Pangeran Wirasmara

5. Ratu Mirah

23. Ratu Sandi

6. Pangeran Sudamanggala

24. Pangeran Arya Jayaningrat

7. Pangeran Ranamanggala

25. Ratu Citra

8. Ratu Belimbing

26. Pangeran Arya Adiwangsa

9. Ratu Gedong

27. Pangeran Arya Sutakusuma

10. Pangeran Arya Maduraja

28. Pangeran Arya Jayasantika

11. Pangeran Kidul

29. Ratu Hafsah

12. Ratu Dalem

30. Ratu Pojok

13. Ratu Lor

31. Ratu Pacar

14. Pangeran Seminingrat

32. Ratu Bangsal

15. Ratu Kidul

33. Ratu Salamah

16. Pangeran Arya Wiratmaka

34. Ratu Ratmala

17. Pangeran Arya Danuwangsa

35. Ratu Hasanah

18. Pangeran Arya Prabangsa

36. Ratu Husaerah

 

37. Ratu Kelumpuk

 

38. Ratu Jiput

 

39. Ratu Wuragil

PUTRA MAHKOTA SULTAN ‘ABDUL MA’ALI AHMAD, Berputera:

1. Abul Fath Abdul Fattah

8. Pangeran Arya Kidul

2. Ratu Panenggak

9. Ratu Tinumpuk

3. Ratu Nengah

10. Ratu Inten

4. Pangeran Arya Elor

11. Pangeran Arya Dipanegara

5. Ratu Wijil

12. Pangeran Arya Ardikusuma

6. Ratu Puspita

13. Pangeran Arya Kulon

7. Pangeran Arya Ewaraja

14. Pangeran Arya Wetan

 

15. Ratu Ayu Ingalengkadipura

SULTAN AGENG TIRTAYASA -‘ABUL FATH ‘ABDUL FATTAH (1651-1672) Berputra :

1. Sultan Haji

16. Tubagus Muhammad ‘Athif

2. Pangeran Arya ‘abdul ‘Alim

17. Tubagus Abdul

3. Pangeran Arya Ingayudadipura

18. Ratu Raja Mirah

4. Pangeran Arya Purbaya

19. Ratu Ayu

5. Pangeran Sugiri

20. Ratu Kidul

6. Tubagus Rajasuta

21. Ratu Marta

7. Tubagus Rajaputra

22. Ratu Adi

8. Tubagus Husaen

23. Ratu Ummu

9. Raden Mandaraka

24. Ratu Hadijah

10. Raden Saleh

25. Ratu Habibah

11. Raden Rum

26. Ratu Fatimah

12. Raden Mesir

27. Ratu Asyiqoh

13. Raden Muhammad

28. Ratu Nasibah

14. Raden Muhsin

29. Tubagus Kulon

15. Tubagus Wetan

 

SULTAN ABU NASR ABDUL KAHHAR – SULTAN HAJI (1672-1687) Berputra :

1. Sultan Abdul Fadhl

6. Ratu Muhammad Alim

2. Sultan Abul Mahasin

7. Ratu Rohimah

3. Pangeran Muhammad Thahir

8. Ratu Hamimah

4. Pangeran Fadhludin

9. Pangeran Ksatrian

5. Pangeran Ja’farrudin

10. Ratu Mumbay (Ratu Bombay)

SULTAN ABUDUL FADHL (1687-1690) Berputra :

– Tidak Memiliki Putera

 

SULTAN ABUL MAHASIN ZAINUL ABIDIN(1690-1733 ) Berputra :

1. Sultan Muhammad Syifa

31. Raden Putera

2. Sultan Muhammad Wasi’

32. Ratu Halimah

3. Pangeran Yusuf

33. Tubagus Sahib

4. Pangeran Muhammad Shaleh

34. Ratu Sa’idah

5. Ratu Samiyah

35. Ratu Satijah

6. Ratu Komariyah

36. Ratu ‘Adawiyah

7. Pangeran Tumenggung

37. Tubagus Syarifuddin

8. Pangeran Ardikusuma

38. Ratu ‘Afiyah Ratnaningrat

9. Pangeran Anom Mohammad Nuh

39. Tubagus Jamil

10. Ratu Fatimah Putra

40. Tubagus Sa’jan

11. Ratu Badriyah

41. Tubagus Haji

12. Pangeran Manduranagara

42. Ratu Thoyibah

13. Pangeran Jaya Sentika

43. Ratu Khairiyah Kumudaningrat

14. Ratu Jabariyah

44. Pangeran Rajaningrat

15. Pangeran Abu Hassan

45. Tubagus Jahidi

16. Pangeran Dipati Banten

46. Tubagus Abdul Aziz

17. Pangeran Ariya

47. Pangeran Rajasantika

18. Raden Nasut

48. Tubagus Kalamudin

19. Raden Maksaruddin

49. Ratu SIti Sa’ban Kusumaningrat

20. Pangeran Dipakusuma

50. Tubagus Abunasir

21. Ratu Afifah

51. Raden Darmakusuma

22. Ratu Siti Adirah

52. Raden Hamid

23. Ratu Safiqoh

53. Ratu Sifah

24. Tubagus Wirakusuma

54. Ratu Minah

25. Tubagus Abdurrahman

55. Ratu ‘Azizah

26. Tubagus Mahaim

56. Ratu Sehah

27. Raden Rauf

57. Ratu Suba/Ruba

28. Tubagus Abdul Jalal

58. Tubagus Muhammad Said (Pg. Natabaya)

29. Ratu Hayati

 

30. Ratu Muhibbah

 

SULTAN MUHAMMAD SYIFA’ ZAINUL ARIFIN (1733 – 1750) Berputra :

1.Sultan Muhammad ‘Arif

7. Ratu Sa’diyah

2. Ratu Ayu

8. Ratu Halimah

3. Tubagus Hasannudin

9. Tubagus Abu Khaer

4. Raden Raja Pangeran Rajasantika

10. Ratu Hayati

5. Pangeran Muhammad Rajasantika

11. Tubagus Muhammad Shaleh

6. Ratu ‘Afiyah

 

SULTAN SYARIFUDDIN ARTU WAKIL (1750 – 1752 )

– Tidak Berputera

 

SULTAN MUHAMMAD WASI’ ZAINUL ‘ALIMIN (1752-1753)

– Tidak Berputera

 

SULTAN MUHAMMAD ‘ARIF ZAINUL ASYIKIN (1753-1773) Berputra :

1. Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliyudin

4. Pangeran Suralaya

2. Sultan Muhyiddin Zainusholiohin

5. Pangeran Suramanggala

3 . Pangeran Manggala

 

SULTAN ABUL MAFAKHIR MUHAMMAD ALIYUDDIN (1773-1799) Berputra :

1. Sultan Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin

5. Pangeran Musa

2. Sultan Agilludin (Sultan Aliyuddin II)

6. Pangeran Yali

3. Pangeran Darma

7. Pangeran Ahmad

4. Pangeran Muhammad Abbas

 

SULTAN MUHYIDDIN ZAINUSHOLIHIN (1799-1801) Berputra :

1. Sultan Muhammad Shafiuddin

 

Sultan Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)

Sultan Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)

Sultan Agilludin (Sultan Aliyuddin II) (1803-1808)

Sultan Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809)

Sultan Muhammad Syafiuddin (1809-1813)

Sultan Muhammad Rafiuddin (1813-1820)

         

Diambil dari buku : Catatan Masa Lalu Banten – Halwany ‘n Mudjahid Chudari

Permendagri Nomor 30 Tahun 2009

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI

NOMOR  30  TAHUN 2009

 

TENTANG

 

PELAKSANAAN PENDIDIKAN TEKNIS PEMERINTAHAN BAGI CALON CAMAT

 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

 

MENTERI DALAM NEGERI,

Menimbang  :  bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 26 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pelaksanaan Pendidikan Teknis Pemerintahan bagi Calon Camat;

Mengingat    :  1.   Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890);

  1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
  2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4019);
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4826);
  6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan di Lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah;
  7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2008 tentang Rumpun Pendidikan dan Pelatihan Teknis Substantif Pemerintahan Daerah;

 

 

 

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:   PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PELAKSANAAN PENDIDIKAN TEKNIS PEMERINTAHAN BAGI CALON CAMAT.

BAB  I

KETENTUAN UMUM

 

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:

  1. Camat atau sebutan lain, adalah pemimpin dan koordinator penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kerja kecamatan yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah dan menyelenggarakan tugas umum pemerintahan.
  2. Calon Camat, adalah Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Camat.
  3. Pendidikan Teknis Pemerintahan bagi Calon Camat yang selanjutnya disebut Diklat Camat, adalah pendidikan yang bersifat teknis yang diselenggarakan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dibidang pemerintahan guna mendukung kelancaran penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan.

BAB  II

MAKSUD, TUJUAN, DAN SASARAN

 

Pasal 2

Diklat Camat dimaksudkan untuk mewujudkan penyelenggara pemerintahan daerah yang profesional.

Pasal 3

Diklat Camat bertujuan untuk:

  1. meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan sikap untuk  melaksanakan tugas Camat yang dilandasi dengan  kepribadian dan etika pegawai negeri sipil;
  2. memantapkan sikap dan semangat pengabdian Camat yang berorientasi pada pelayanan dan pemberdayaan masyarakat;
    1. membentuk Camat yang mampu berperan sebagai pembaharu dan perekat persatuan dan kesatuan bangsa; dan
    2. membentuk/mempersiapkan Camat yang mampu berperan sebagai mediator, motivator, dan fasilitator pemerintah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

 Pasal 4

Sasaran Diklat Camat untuk terciptanya kesamaan pola pikir, pola tindak, dan keselarasan untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah dan menyelenggarakan tugas umum pemerintahan.

BAB  III

PESERTA DAN PERSYARATAN

 

 

 

Pasal 5

(1)  Diklat Camat diikuti oleh Calon Camat.

(2)  Calon Camat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan:

  1. Pegawai  Negeri Sipil yang akan diangkat menjadi Camat tetapi tidak memiliki ijazah Diploma/Sarjana pemerintahan dan belum bertugas di desa, kelurahan dan kecamatan paling singkat 2 (dua) tahun;
  2. pernah atau sedang menduduki jabatan struktural eselon IV; dan
  3. diusulkan oleh Bupati/Walikota kepada Menteri Dalam Negeri dengan tembusan kepada Gubernur.

BAB  IV

PENYELENGGARAAN

 

Pasal 6

(1)  Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Dalam Negeri sebagai penanggung jawab dalam pelaksanaan Diklat Camat.

(2)  Pelaksana Diklat Camat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

  1. Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Dalam Negeri;
  2. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Departemen Dalam Negeri Regional; dan/atau
  3. Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi.

(3)  Pelaksanaan Diklat Camat dapat bekerjasama dengan lembaga diklat pemerintah lainnya.

(4)  Pelaksana Diklat Camat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c, melaksanakan Diklat Camat setelah mendapatkan persetujuan Menteri Dalam Negeri

(5)  Waktu pelaksanaan Diklat Camat  selama 600 jam pelajaran.

BAB V

MATERI PEMBELAJARAN

 

Pasal 7

(1)  Materi pembelajaran Diklat Camat meliputi:

  1. pengetahuan dasar pemerintahan;
  2. keterampilan teknis pemerintahan; dan
  3. kepribadian kepamongprajaan.

(2)  Persentase materi pembelajaran sebagaimana  dimaksud  pada  ayat (1), meliputi :

  1. 20% (dua puluh persen)  pengetahuan dasar pemerintahan;
  2. 50% (lima puluh persen) keterampilan teknis pemerintahan; dan
  3. 30% (tiga puluh persen) kepribadian kepamongprajaan.

 

BAB VI

EVALUASI  PEMBELAJARAN 

 

Pasal 8

(1)  Setiap akhir pelaksanaan Diklat Camat dilakukan evaluasi pembelajaran oleh pelaksana.

(2)  Evaluasi  pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :

  1. aspek pengetahuan dasar pemerintahan;
  2. aspek keterampilan teknis pemerintahan; dan
  3. aspek kepribadian kepamongprajaan.

(3)  Peserta yang memperoleh hasil evaluasi kurang dari 60 (enam puluh) dinyatakan tidak lulus.

BAB VII

STTP, SERTIFIKAT, PENGHARGAAN, DAN SANKSI

 

Pasal 9

(1)  Peserta Diklat Camat yang dinyatakan lulus diberikan Surat Tanda Tamat Pendidikan (STTP) dan sertifikat.

(2)  STTP ditandatangani Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Dalam Negeri atas nama Menteri Dalam Negeri.

(3)  Sertifikat ditandatangani Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan dan Direktur Jenderal Pemerintahan Umum Departemen Dalam Negeri.

(4)  Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan bukti bahwa peserta telah memiliki kompetensi sebagai Camat.

Pasal 10

(1)  Peserta Diklat Camat yang dinyatakan lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), dikategorikan dengan predikat:

  1. cukup memuaskan;
  2. memuaskan; dan
  3. sangat memuaskan.

(2)  Peserta Diklat Camat yang dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan diberikan tanda penghargaan WICAKSANA AMONG PRAJA.

(3)  STTP dan sertifikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), menjadi syarat pengangkatan dalam jabatan Camat.

Pasal 11

Peserta Diklat Camat yang tidak lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), diberikan kesempatan mengikuti Diklat Camat 1 (satu) kali.  

BAB VIII

PEMANTAUAN DAN EVALUASI PASCA PENDIDIKAN

 

Pasal 12

(1)  Pemantauan alumni dilaksanakan oleh tim yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri.

(2)  Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari:

  1. Sekretariat Jenderal, Departemen Dalam Negeri;
  2. Inspektorat Jenderal, Departemen Dalam Negeri;
  3. Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum, Departemen Dalam Negeri;
  4. Badan Pendidikan dan Pelatihan, Departemen Dalam Negeri; dan
  5. Deputi Bidang Kompetensi Jabatan, Badan Kepegawaian Negara (BKN).

(3)  Pemantauan alumni sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :

  1. penempatan alumni;
  2. pemantauan kinerja; dan
  3. kesesuaian materi pendidikan dengan pelaksanaan tugas.

Pasal 13

(1)  Sekretariat Jenderal Departemen Dalam Negeri berkoordinasi dengan Deputi Bidang Kompetensi Jabatan Badan Kepegawaian Negara mengevaluasi penempatan alumni.

(2)  Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum Departemen Dalam Negeri mengevaluasi kinerja Camat.

(3)  Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Dalam Negeri mengevaluasi kesesuaian materi pendidikan dengan pelaksanaan tugas.

Pasal 14

Evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, dilaksanakan paling kurang setelah 1 (satu)  tahun selesai pendidikan.

BAB  IX

PENGAWASAN

 

Pasal 15

(1)  Inspektorat Jenderal Departemen Dalam Negeri dan Inspektorat Provinsi dan Inspektorat Kabupaten/Kota atau Badan Pengawas Daerah atau sebutan lain melakukan pengawasan terhadap  pelaksanaan Peraturan Menteri ini.

(2)  Bentuk dan mekanisme pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB X

KETENTUAN LAIN-LAIN

 

Pasal 16

(1)  Bagi Camat yang tidak berlatar belakang pendidikan Diploma/Sarjana pemerintahan wajib mengikuti Diklat Camat.

(2)  Materi pembelajaran Diklat Camat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

  1. pengetahuan dasar pemerintahan;
  2. keterampilan teknis pemerintahan; dan
  3. kepribadian kepamongprajaan.

(3)  Pelaksanaan Diklat Camat bagi Camat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling lambat 2 (dua) tahun anggaran berikutnya setelah Peraturan Menteri ini ditetapkan.

(4)  Peserta Diklat Camat bagi Camat yang lulus diberikan STTP dan Sertifikat.

(5)  STTP ditandatangani oleh Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Dalam Negeri atas nama Menteri Dalam Negeri.

(6)  Sertifikat ditandatangani oleh Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan dan Direktur Jenderal Pemerintahan Umum Departemen Dalam Negeri.

(7)  Waktu pelaksanaan Diklat Camat bagi Camat selama 300 jam pelajaran.

(8)  Prosentase materi pembelajaran, nilai kelulusan, dan predikat kelulusan mengacu pada pelaksanaan Diklat Camat bagi Calon Camat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10.

Pasal 17

Camat peserta Diklat Camat yang dinyatakan tidak lulus diberikan kesempatan mengikuti Diklat Camat 1 (satu) kali.  

BAB XII

KETENTUAN PENUTUP

 

Pasal 18

(1)  Materi pembelajaran Diklat Camat bagi Calon Camat dan Camat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 16 ayat (2) dijabarkan dalam:

  1. mata ajaran;
  2. kurikulum;
  3. silabi; dan
  4. modul.

(2)  Ketentuan lebih lanjut mengenai mata ajaran, kurikulum, silabi, dan modul Diklat Camat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri.

Pasal 19

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal  7 Juli 2009

MENTERI DALAM NEGERI,

 

ttd

 

H. MARDIYANTO

Anomali Koordinasi dalam Birokrasi

Pembahasan ini merupakan babak baru dalam koordinasi berpemerintahan sekaligus merupakan penyakit lama yang dialami birokrasi, karena sebagaimana yang telah kita sepakati bersama bahwa  konsep birokrasi harus bekerja dengan prinsip-prinsip; (1) akuntabilitas, (2) tranparansi, (3) keterbukaan, (4) peduli pada stakeholder, (5) kesetaraan, (6) efesiensi dan efektivitas, serta mendukung terhadap (7) visi strategis birokrasi, dimana pada akhirnya menciptakan Good Governanceyang mengarah kepada konsep Clean Governance.

Good Governancemenjungjung tinggi akuntabilitas yang utuh terkait struktur yang disepakati sebagai alur dari cara dan sistem bekerja. Kerucut kepentingan dan informasi yang disampaikan merupakan aliran yang harus bertahap melalui struktur yang dibangun tersebut.

Konsep Good Governance di atas, sangat tidak sejalan dengan konsep anomali koordinasi pemerintahan yang cenderung berjalan dengan cara potong kompas untuk mendapatkan dukungan instan, maupun secara kelompok untuk menjadi pahlawan, tanpa campur tangan struktur pemerintahan yang seharusnya mengetahui dan bertahap memahami informasi yang harus dikoordinasikan dengan santun dan sistematis dalam pilar-pilar demokrasi birokrasi kita.

Dalam sebuah acara televisi dalam negeri yang menayangkan perbincangan hangat terkait kisruh BUMN dan pernyataan menteri BUMN Dahlan Iskan, Akbar Faizal selaku anggota komisi III DPR RI menyatakan bahwa telah terjadi Anomali Koordinasi Pemerintahan, suatu struktur yang tak patuh dengan jenjang koordinasi yang seharusnya dilakukan serta efek jabatan yang dapat dapat dipengaruhi oleh ekses negatif sudut pandang pribadi dengan lugasnya mengesampingkan santun dalam koordinasi struktur pemerintahan.

Hal ini tidak saja terjadi dalam pemerintahan pusat saja, tapi merupakan anomali-anomali yang selama ini telah menjadi proses yang memperparah kondisi keterpurukan pengelolaan birokrasi pusat maupun di daerah.

Kita ambil sample anomali dalam birokrasi yang mungkin saja telah terjadi selama ini sebagai berikut :

  1. Seorang pejabat level low management pada birokrasi pemerintah daerah, yang hanya karena unsur kedekatan dan persamaan hobi bahkan hubungan darah dengan unsur level top management organisasi, menyebabkan dalam setiap pelaksanaan tugas, khususnya penyampaian data dan informasi sedikit banyak akan lebih melakukan potong kompas jalur koordinasi tanpa melalui level middle management yang pada akhirnya sedikit banyaktelahmenjadiakar-akar anomali koordinasi pemerintahan, dimana tidak dapat dibedakan lagi komitmen-komitmen organisasi yang dibangun antara Low, middle dan top management dalam organisasi birokrasi sehingga akan terjadi konflik yang berpengaruh terhadap harmonisasi internal organisasi.
  2. Kecamatan sebagaimana penjelasan pasal 126 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dikemukakan bahwa Kecamatan Adalah Wilayah Kerja Camat Sebagai Perangkat Daerah Kabupaten Dan Daerah Kota. Oleh karena itu, camat bertanggung jawab kepada Bupati atau Walikota yang memiliki wewenang penuh untuk mengangkat dan memberhentikannya. Camat merupakan garda terdepan dalam melaksanakan pelayanan kepada masyarakat yang diberi tugas atributif berupa pelaksanaan Tugas Umum Pemerintahan serta mendapatkan wewenang dari hasil Pelimpahan Kewenangan Bupati Kepada Camat Secara Delegatif. Dalam pelaksanaan tugas dan kewenanganya, camat diharuskan melakukan koordinasi dan fasilitasi dalam rangka pembinaan terhadap Desa/ kelurahan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005. Namun lagi-lagi terjadi anomali dalam birokrasi dimana kepala desa menganggap peranan camat selaku perangkat daerah yang bersifat kewilayahan hanya melaksanakan tugas secara administratif saja, sehingga dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kepala desa memandang sebelah mata posisi camat.

Pengelolaan pemerintahan yang masih dihinggapi penyakit kronis berupa KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) merupakan hal yang sampai detik ini menjadikan manusia sebagai pelaku birokrasi yang munafik dan gombal. Seperti halnya konsep demokrasi yang didasarkan kepada insting ketidakpercayaan, sehingga manusia berdemokrasi adalah manusia yang bertanya apa yang sebenarnya terjadi dan kemana arah itu berakhir. Keterbukaan dan transparansi birokrasi dewasa ini tidak didasarkan pada unsur kepercayaan dan keyakinan terhadap nilai-nilai kejujuran, yang pada akhirnya hal ini menjadikan chaos dan distrust birokrasi.

Berbeda halnya dengan agama, dimana agama diletakan atas dasar iman yang berarti percaya dan yakin terhadap konsep tentang tuhan, hari akhir, penciptaan alam semesta dan sebagainya walaupun penuh dengan absurditas yang jauh dari logika nalar manusia, namun dengan percaya dan yakin tersebut bertahap rahasia terbuka dan dibukakan untuk manusia.

Itulah makna kepercayaan dan keyakinan dimana sesuatu yang diawali dengan dua kata tersebut tidak akan menjadikan pertentangan dalam prosesnya, berbeda dengan demokrasi yang setiap alur dan sudutnya dipenuhi dengan prasangka dan ketidakpercayaan terhadap kebijakan birokrasi, sehingga dari proses perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi membutuhkan high cost untuk menerapkan demokrasi sebenarnya.